Menembus seleksi beasiswa penuh dari pemerintah Jepang atau yang biasa
disebut Monbukagakusho bukan hal yang mudah. Selain melewati seleksi
administrasi atau berkas, para calon mahasiswa harus menempuh ujian
tulis dan wawancara.
Salah seorang tim seleksi
beasiswa Monbukagakusho,
yakni Sekretaris Direktorat Jenderal Kementerian Keuangan (Kemenkeu)
Heru Subiantoro menyatakan, peminat beasiswa tersebut terus meningkat
setiap tahun. Namun, lanjutnya, seleksi yang dilakukan pun semakin
ketat.
"Jumlah pendaftar banyak sekali, saya tidak tahu
persisnya. Seleksi dimulai dengan seleksi administrasi (berkas) kemudian
wawancara untuk melihat kemampuan bahasa Inggris, Jepang, dan akademis
mereka dengan dewan juri yang berlatar belakang S-2 dan S-3 baik dari
Jepang maupun Indonesia," tutur Heri, di Kedutaan Besar (Kedubes)
Jepang, Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (28/3/2014).
Dengan
melewati proses seleksi tersebut, kemudian terpilih 104 mahasiswa
jenjang D-2 hingga S-3 dari ribuan pelamar. Lantas, apa sebenarnya
penyebab kegagalan para mahasiswa tersebut?
"Mereka gagal karena
pemilihan bidang studi atau propsal penelitian yang diajukan tidak
mencerminkan kebutuhan pembangunan kedua negara. Padahal, para penerima
beasiswa ini menjadi target jembatan kerjasama antara kedua negara yang
lebih luas," paparnya.
Jebolan master dari National Graduate
Institute for Policy Studies, Tokyo itu mengaku, Jepang merupakan
pilihan menarik untuk melanjutkan studi. Dia menyayangkan jika
masyarakat Indonesia membatasi tujuan kuliah, terutama untuk jurusan
engineering hanya ke negara barat.
"Indonesia punya hubungan
sejarah yang erat dengan Jepang. Ada saling ketergantungan ekonomi baik
dari gas maupun minyak. Hubungan secara ekonomi dan budaya pun erat.
Saya lihat itu penting tapi banyak yang pilih di negara barat. Padahal
kita bisa belajar
engineering maupun biomedis dari Jepang. Ubah pola pikir," imbuh Heri.
Beasiswa lainnya: